Kumpulan tontonan yang nyelekit, absurd, dan penuh sindiran elegan soal industri seni
Kalau kamu suka nonton film yang nggak cuma sekadar menghibur tapi juga nyentil, lucu dalam cara yang gelap, dan bikin kamu mikir “ini beneran terjadi nggak sih di dunia nyata?”, maka genre film satir bisa jadi tempat yang menarik buat eksplorasi.
Khususnya film yang menyentil dunia seni. Entah itu seni rupa, industri film, dunia influencer, atau kreativitas yang dibungkus kapitalisme, semua kena semprot lewat gaya narasi yang sarkas, edgy, kadang absurd tapi relatable banget.
Berikut ini 8 rekomendasi playlist film satir tentang dunia seni yang wajib kamu tonton — biar kamu bisa tertawa, meringis, dan nyengir sambil bilang “wah… ini nyindir gue banget deh” 🎬🧠🎭
1. The Square (2017)
Sutradara: Ruben Östlund
Sinopsis dan Kritik Film:
Christian adalah direktur museum seni kontemporer yang progresif, cerdas, dan terlihat sangat meyakini nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial. Ia sedang mempersiapkan peluncuran instalasi seni baru berjudul “The Square” — sebuah ruang imajiner di mana setiap orang seharusnya diperlakukan setara dan dengan rasa saling percaya. Namun, realita dengan cepat memporakporandakan idealisme tersebut. Saat dompet dan ponselnya dicuri, Christian melakukan serangkaian tindakan yang semakin menjauhkannya dari nilai-nilai yang ia promosikan sendiri.
Film ini menyentil dunia seni elit yang sering terjebak dalam kemunafikan. Ruben Östlund menyuguhkan sindiran tentang bagaimana institusi seni bisa menjual idealisme demi popularitas atau branding, dan bagaimana seniman maupun kurator bisa membicarakan solidaritas sambil hidup dalam zona nyaman yang sangat eksklusif. Kritiknya tajam, sarkastik, dan disampaikan dengan komedi kering yang membuat penonton tergelak sekaligus tidak nyaman. The Square tidak hanya menyerang institusi seni, tetapi juga mengajak kita merenungkan kemunafikan moral yang sering kita lakukan atas nama progresivitas.
2. Do Not Expect Too Much from the End of the World (2023)
Sutradara: Radu Jude
Sinopsis dan Kritik Film:
Angela, seorang asisten produksi yang dibayar rendah dan bekerja tanpa henti, ditugaskan merekam testimoni dari para karyawan yang mengalami kecelakaan kerja. Proyek ini adalah bagian dari kampanye keselamatan kerja yang dibiayai oleh perusahaan multinasional, tapi niatnya lebih banyak pencitraan ketimbang perubahan nyata. Di sela-sela kelelahan fisik dan tekanan absurd dari bos dan klien, Angela membuat video TikTok satir sebagai karakter alter ego bernama Bobița, tempat ia menyalurkan frustrasi terhadap sistem yang menjebaknya.
Radu Jude meramu film ini dengan pendekatan multi-format yang mencampurkan footage dokumenter, arsip film era komunis, Zoom call, TikTok, hingga sinema fiksi, untuk menggambarkan realitas dunia kerja digital yang kacau dan terfragmentasi. Film ini bukan hanya komentar tentang produksi konten, tetapi juga refleksi tentang bagaimana citra dan narasi dikonstruksi demi kepentingan korporasi. Dalam cara yang cerdas, eksperimental, dan sering kali lucu secara tidak nyaman, film ini menyuarakan kritik terhadap dehumanisasi dalam sistem kapitalistik dan absurditas dari kehidupan modern yang terus-menerus terekam.
3. The Ballad of Wallis Island (2025)
Sutradara: Mira Mendoza
Sinopsis dan Kritik Film:
Sebuah pulau terpencil di tengah Samudra Pasifik mendeklarasikan dirinya sebagai wilayah seni independen. Di tempat ini, seniman dari berbagai negara diundang untuk mengikuti program residensi yang menjanjikan kebebasan penuh berekspresi. Namun di balik atmosfer eksperimental dan jargon anti-korporat yang digaungkan, tersembunyi struktur pendanaan dari sponsor multinasional yang perlahan mulai mengatur arah narasi, estetika, dan bahkan isi karya para seniman.
Mira Mendoza menggambarkan konflik ini tidak secara gamblang, melainkan lewat percakapan, sindiran halus, dan gesekan personal antar peserta residensi. Wacana tentang orisinalitas, integritas, dan makna karya seni dibingkai lewat kompetisi ego yang dikemas dalam bahasa-bahasa progresif. Film ini adalah potret kompleks tentang dunia seni kontemporer yang secara lahiriah tampak radikal dan bebas, namun sesungguhnya tetap tunduk pada logika pencitraan, pendanaan, dan branding personal.
Dengan latar Asia Tenggara dan pengalaman postkolonial yang terus menghantui, Mendoza menambahkan lapisan kritik terhadap bagaimana seni global sering kali mengemas budaya lokal sebagai komoditas eksotis untuk pasar internasional. Film ini menantang kita untuk bertanya: siapa yang benar-benar bebas dalam sistem seni hari ini?
4. White Noise (2022)
Sutradara: Noah Baumbach
Sinopsis dan Kritik Film:
Diadaptasi dari novel klasik karya Don DeLillo, White Noise mengikuti Jack Gladney, profesor studi Hitler yang tampak percaya diri tapi menyimpan kecemasan eksistensial. Ia hidup dalam keluarga yang terobsesi dengan belanja di supermarket besar, ketakutan akan kematian, dan pencarian makna dalam hal-hal yang semakin absurd.
Ketika sebuah “acara toksik udara” menyebabkan kepanikan massal, film ini berubah menjadi refleksi tentang bagaimana masyarakat modern mengelola ketakutan—dengan teknologi, informasi, dan estetika visual. Di balik absurditasnya, White Noise adalah satir tentang budaya konsumerisme, cara kita menutupi kecemasan eksistensial dengan membeli, memoles, dan menata hidup kita agar terlihat “baik-baik saja” di permukaan.
Baumbach memainkan bentuk film layaknya orkestra kekacauan—dialog cepat, warna cerah, adegan penuh simbol—yang secara kolektif membingungkan, tapi secara tematik sangat tepat. Seni, dalam film ini, adalah cara masyarakat menyublimasi trauma dan menjual ketakutan dalam kemasan yang menarik. Bukan tontonan mudah, tapi pengalaman yang mendalam.
5. The Monkey (2025)
Sutradara: Yorgos Lanthimos
Sinopsis dan Kritik Film:
Seekor monyet menjadi asisten pribadi dari seorang pengacara sukses. Tidak pernah lelah, tidak pernah protes, tidak butuh istirahat. Premis ini terdengar lucu sekaligus mengganggu—dan itulah yang membuat film pendek ini begitu menggigit.
Yorgos Lanthimos, dengan pendekatan surealis dan penuh ketidaknyamanan, menjadikan monyet ini simbol dari manusia modern yang telah dikurangi menjadi alat kerja murni. Ia adalah figur pekerja ideal di mata sistem kapitalistik: patuh, efektif, tak bersuara.
Film ini menyampaikan sindiran terhadap dehumanisasi dalam dunia kerja yang membungkus eksploitasi dalam nama profesionalisme. Gaya visual grotesk dan atmosfer dingin membuat film ini terasa seperti mimpi buruk kantor yang dibungkus humor gelap. Tanpa perlu menjelaskan apapun secara eksplisit, The Monkey menawarkan metafora yang keras, jujur, dan membuat kita bertanya: sejauh mana kita sudah kehilangan kemanusiaan kita demi efisiensi?
6. The Strange Color of Your Body’s Tears (2013)
Sutradara: Hélène Cattet & Bruno Forzani
Sinopsis dan Kritik Film:
Seorang pria mencari istrinya yang hilang dalam labirin arsitektur apartemen art nouveau di Brussels. Namun pencarian itu berubah menjadi perjalanan psiko-eksperimental penuh bayangan, simbol, dan citra yang menipu.
Film ini adalah penghormatan sekaligus pembongkaran terhadap sinema giallo. Tapi lebih dari itu, ia menyampaikan kritik terhadap cara seni—terutama sinema—sering kali lebih sibuk memuja bentuk daripada makna. Apakah seni harus bisa dimengerti? Atau justru indah saat tetap misterius?
Cattet dan Forzani menggiring penonton ke dalam pengalaman sinestetik, penuh musik menghantui dan visual menghipnotis, tapi juga menyadarkan bahwa kita sering terjebak dalam ilusi seni. Apakah kita melihat karena ingin memahami, atau sekadar ingin menikmati estetika kekerasan dan kekosongan? Film ini tidak memberi jawaban, tapi melemparkan banyak pertanyaan dalam bingkai yang sangat menawan.
7. Dr. Strangelove or: How I Learned to Stop Worrying and Love the Bomb (1964)
Sutradara: Stanley Kubrick
Negara: Amerika Serikat
Sinopsis dan Kritik Film:
Di tengah ketegangan Perang Dingin, sebuah kesalahan militer menyebabkan pesawat tempur AS berada dalam jalur misi pengeboman nuklir yang tidak bisa dibatalkan. Sementara para jenderal dan politisi panik, film ini mengupas absurditas sistem kekuasaan dengan komedi yang gelap dan ironis.
Kubrick memanfaatkan kekonyolan tokoh-tokohnya—dari jenderal paranoid hingga ilmuwan Jerman eksentrik—untuk menyindir logika perang dan ego yang mendasari kebijakan militer. Ini adalah satir politik yang jenius, menyampaikan ketakutan akan kehancuran global lewat tawa yang getir.
Dr. Strangelove adalah contoh bagaimana film bisa memelintir realita yang mengerikan menjadi sesuatu yang tertawa sambil meringis. Sebuah peringatan bahwa kekuasaan, ketika jatuh ke tangan orang-orang yang tak seimbang, bisa membawa bencana bukan karena niat jahat, tapi karena kebodohan dan sistem yang tidak masuk akal.
8. Full Metal Jacket (1987)
Sutradara: Stanley Kubrick
Sinopsis dan Kritik Film:
Film ini terbagi dalam dua babak. Pertama, pelatihan brutal yang membentuk para prajurit menjadi mesin ketaatan; kedua, realitas perang Vietnam yang mengacaukan moralitas dan kemanusiaan mereka.
Stanley Kubrick tidak hanya membuat film perang. Ia menciptakan karya yang mengupas bagaimana sistem dapat menghancurkan individu secara psikologis. Satirnya tidak dalam bentuk komedi, melainkan dalam kontras yang menyakitkan antara “disiplin” dan kehancuran batin.
Melalui tokoh Joker, seorang prajurit yang mencoba mempertahankan ironi dan kesadaran diri, film ini mempertanyakan fungsi dari perang, patriotisme, dan bahkan seni jurnalistik. Full Metal Jacket adalah pengingat bahwa seni bisa menjadi cermin dari kegilaan institusional, sekaligus senjata untuk meruntuhkannya dari dalam.
🧠 Penutup: Satir Bukan Cuma Buat Lucu-lucuan
Genre satir adalah cermin. Kadang retak, kadang berdebu, kadang bikin kita nggak nyaman. Tapi di situlah kekuatannya: dia nyentil, bukan menggurui. Dia mengajak mikir, bukan menyuapi jawaban.
Kalau kamu lagi stuck, capek sama “pretensius” di industri kreatif, atau sekadar pengen tertawa sinis sambil mikir, playlist ini cocok banget buat akhir pekan.
Mau lanjut ke artikel terakhir? Kita bahas 5 website resmi buat nonton film arthouse yang unik dan inspiratif banget buat ide-ide out of the box. Kasih sinyal ya kalau siap! 🎞️🧠🌐